Halaman

Rabu, 25 April 2012

Kritik Terhadap Sistem Pendidikan Nasional


I.    PENDAHULUAN
Sistem Pendidikan Nasional diatur dalam  Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 yaitu undang undang yang mengatur masalah pendidikan di Indonesia. Jenjang pendidikan formal diatur sedemikian rupa dengan harapan agar tujuan Negara  yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV dapat tercapai yaitu dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Menurut Darmaningtyas, Edi Subkhan dalam bukunya yang berjudulManipulasi Kebijakan Pendidikan menyatakan bahwa  kebijakan pendidikan di Indonesia  telah lama menjadi sasaran kritik dari berbagai kalangan. Kritik yang diungkapkan, antara lain, menyangkut visi pendidikan yang tidak jelas sampai pada implementasi yang problematik. Sorotan lain ialah seputar akses dan pemerataan pendidikan. Kritik seakan tak kunjung habis dari masa ke masa. Sistem pendidikan memang banyak kontroversi. Wajarlah bila di kalangan masyarakat terus muncul kritik. Kritik yang muncul secara bertubi-tubi karena  pendidikan sangatlah penting bagi bangsa dan merupakan fondasi awal dalam pengetahuan sekaligus bekal karakter bagi anak-anak.
Dalam tulisan ini akan dipaparkan tentang kritikan-kritikan  terhadap sistem pendidikan nasional yang meliputi : a) pemerataan pendidikan versus peningkatan kualitas pendidikan, b) sistem pendidikan yang mendorong urbanisasi, c) penyeragaman pendidikan, d) pemberlakuan kurikulum nasional, dan e ) ujian nasional.
II.  KRITIK TERHADAP SISTEM PENDIDIKAN

A. Pemerataan  Pendidikan Versus PeningkatanKualitas Pendidikan
Pemerintah telah mencanangkan Wajib Belajar 9 tahun yang mewajibkan seluruh rakyat Indonesia utnuk bersekolah serendah-rendahnya lulus SMP. Pemerintah telah memberikan Dana Bantuan Operasional Sekolah ( BOS ), AUSKM, dan berbagai bantuan dalam rangka pemerataan pendidikan bagi rakyat Indonesia. Ketika kita melihat kenyataan bahwa pemerataan pendidikan belum menjangkau seluruh rakyat Indonesia masih dan  banyak kasus anak-anak usia sekolah yang tidak bersekolah karena berbagai macam alasan, khususnya yang menyangkut masalah ekonomi keluarga yang sangat rendah. Pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mewajibkan mereka untuk bersekolah.
Pemerataan pendidikan selalu tidak sejalan dengan peningkatan kualitas pendidikan, maka pemerintah selalu akan mengalami kesulitan apabila ingin mencapai keduanya sekaligus. Jika pemerataan yang ditekankan maka akan terjadi kesenjangan dalam kualitas pendidikan demikian pula sebaliknya.
Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan pemerintah berusaha dengan membentuk sekolah-sekolah unggulan  yang dinamakan Sekolah Standar Nasional( SSN) dan Sekolah Bertaraf Internasional ( SBI ). Namun usaha pemerintah ini sarat dengan kritikan. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dianggap  menggiring pendidikan Indonesia bersifat kapitalistis. Hal ini dibuktikan dengan adanya biaya operasional yang membutuhkan biaya sangat besar sehingga sekolah masih harus memungut biaya pendidikan yang relative mahal dari orangtua siswa. Di sisi lain SBI dituding  menimbulkan ketidak adilan bagi anak-anak bangsa yang seharusnya memiliki hak dan kesempatan yang sama. Anak-anak dari keluaraga  yang secara ekonomi kurang, akan kehilangan akses masuk  ke sekolah SBI meskipun memilki prestasi yang baik. 

SBI yang menerapkan manajemen ISO dituding sebagai  orientasi ke  kapitalisme pendidikan. Sebagaimana yang terdapat dalam Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan 2005-2009, RSBI bisa dicapai melalui sertifikasi ISO. Jadi, sekolah-sekolah yang mencapai taraf internasional tersebut harus  memperoleh sertifikat ISO. Ketentuan tersebut jelas akan mengantarkan manjemen  pendidikan sebagai layaknya sebuah perusahaan (korporasi). Hal itu terjadi karena ISO pada dasarnya adalah standar kinerja dunia industri neoliberalisme, yang ketika digunakan sebagai acuan standar untuk menilai sebuah institusi pendidikan dianggap belum tentu tepat.
B. Sistem Pendidikan Yang Mendorong  Urbanisasi   
Hal ini jelas terlihat, rata-rata di tingkat desa hanya ada jenjang  Sekolah Dasar dan sejenisnya dan tidak ada jenjang pendidikan untuk Sekolah Menegah Pertama  yang dapat menampung anak-anak yang ingin melanjutkan sekolah di desanya. Begitupun di tingkat kecamatan atau  kota kabupaten barulah ada SMP atau SMA dan SMK, Perguruan Tinggi ada kota provinsi . Jadi, memang ada sistem yang mengarahkan orang ke kota dan jarang yang  kembali lagi ke desa nya setelah sampai sekolah di kota. Impilikasi dari sistem tersebut adalah tergerusnya nilai-nilai budaya lokal (kearifan lokal).
C. Penyeragaman Pendidikan
Kecenderungan pemerintah untuk selalu melakukan penyeragaman tentu tidak sesuai dengan prinsip  demokrasi dan keberagaman di dunia pendidikan. Pada sistem pendidikan formal dari Taman Kanak-Kanak sampai pada Pendidikan Tinggi maka akan ditemukan  kejanggalan-kejanggalan, mulai dari adanya penyeragaman bentuk “kurikulum”. bentuk penyeragaman yang lain seperti seragam sekolah dan  buku pelajaran .
Rakyat Indonesia memang sengaja diseragamkan agar outputnya sama yakni agar menjadi yakni menjadi buruh dari para kaum pemodal/pengusaha. Inilah kemudian yang kita kenal dengan istilah link and match di mana pemerintah dalam hal ini sebagai penyedia tenaga kerja dan kaum pemodal sebagai pembuat lapangan kerja
D. Pembakuan Kurikulum
Sejak awal kemerdekaan, kurikulum pendidikan berubah hampir setiap dekade, seperti kurikulum 1968, 1975, 1984, dan terakhir 1994. Tetapi, pasca reformasi 1998, muncul wacana baru Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang menurut rencana mau diterapkan mulai tahun 2004, tetapi sampai pada awal Februari 2006 ketika muncul lagi kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, status KBK masih bersifat uji coba. Semua serba uji coba dan uji coba. Ketidak konsistenan dan ketidak jelasan visi merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Kurikulum yang diterapkan yang  berubah-ubah tergantung Menteri Pendidikan yang sedang menjabat, jika ada pergantian jabatan Menteri Pendidikan biasanya  kurikulum pendidikanpun kemungkinan besar akan berubah (sebagai contoh, kurikulum berbasis kompetensi-KBK, kurikulum tingkat satuan pendidikan-KTSP. Selain berbagai persoalan tersebut, masih ada problem yang tak kalah penting, yaitu gonta-ganti kurikulum. Jadi, belum ada kurikulum baku. Rembuk nasional pendidikan dan kebudayaan yang melibatkan instansi-instansi yang terkait belum mampu menetapkan kurikulum pendidikan yang baku. Dari sisi simbolis dan jargon, kurikulum pendidikan nasional memang berbeda dan sudah menjadi tradisi tersendiri jika setiap ganti menteri muncul program baru. Padahal, jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya substansi kurikulum baru tersebut telah ada dalam konsep pendidikan nasional sebelumnya. Dengan desain tersebut, kompetensi yang ingin dicapai peserta didik dijadikan alasan. Padahal, sistem pendidikan kita hanyalah diarahkan untuk melayani pasar yang sangat jauh dari kepentingan kualitas dan kebutuhan masyarakat.

E. Pro Dan Kontra Ujian Nasional
Pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia telah dimulai sejak tahun 2004 silam, sebagai bagian dari rencana jangka panjang pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Hal ini dapat dijumpai dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 tentang Ujian Nasional (UN) pasal 3 yang berbunyi : “Ujian Nasional bertujuan untuk mengukur dan menilai kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi peserta didik pada mata pelajaran yang ditentukan, dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan.” (Permendiknas 2005. Pada awal pelaksanaannya mata pelajaran yang diujikan bersifat umum meliputi bahasa Indonesia, matematika dan bahasa Inggris. Namun pada tahun 2009 jumlah mata pelajaran yang diujikan meningkat menjadi enam mata pelajaran yang disesuaikan dengan penjurusan siswa (kelas Bahasa, IPA dan IPS). Begitu pun standar nilai rata-rata ditingkatkan secara bertahap dari tahun ke tahun, mulai dari 4.1 hingga sekarang rata-rata 5.5. Jika pada awalnya UN hanya diperuntukkan pada tingkat menengah atas (SMA) sekarang meliputi juga SMP dan bahkan SD. Berdasarkan definisi awalnya UN merupakan ujian tertulis yang menjadi salahsatu faktor penentu kelulusan siswa. Sampai di sini tidak ada masalah dan telah menjadi suatu keharusan dalam sistem pendidikan modern.

Permasalahan muncul ketika UN diberlakukan secara nasional dan menjadi satu-satunya faktor yang menentukan kelulusan siswa bersangkutan. Dalam argumennya pemerintah menekankan bahwa UN perlu terus dijalankan untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia agar tidak semakin tertinggal dari negara-negara lainnya, dan untuk kepentingan pemetaan pendidikan. Dalam catatan pemerintah juga disebutkan bahwa dari tahun ke tahun telah terjadi peningkatan jumlah kelulusan siswa, dan betapa ternyata UN juga terbukti telah meningkatkan semangat belajar siswa dan kualifikasi guru bersangkutan. Sementara itu  di sisi lain, kalangan intelektual dan tokoh pendidikan nasional kerap mengkritisi kebijakan standarisasi UN. Kritik lainnya menyangkut efek domino negatif dari diberlakukannya standarisasi UN secara nasional, seperti: ditekannya kreativitas guru dan sekolah, terpinggirkannya ilmu akhlaq dan budaya, tersitanya waktu luang siswa untuk kegiatan mandiri sebagai akibat dari fokus siswa dan pihak sekolah terhadap UN semata.Tentunya ketika kita membahas masalah kemajuan sebuah peradaban maka tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan yang berlaku pada saat itu. Mulyadhi Kartanegara dan Azyumardi Azra,  dalam bukunya menekankan berkali-kali bahwa pendidikan adalah faktor kunci kemajuan sebuah peradaban. Secara umum sistem pendidikan yang berlaku pada masa itu dapat dibagi menjadi dua, pendidikan formal dan informal.

Beberapa Kritik Tentang Ujian Nasional Standarisasi UN dan meningkatnya nilai minimal kelulusan siswa tidak bisa dipungkiri telah meningkatkan motivasi belajar dan focus para siswa. Namun sayangnya hanya pada mata pelajaran yang diujikan. Hal ini berarti terpinggirkannya mata pelajaran non UN seperti pendidikan akhlaq dan budaya. Begitu pun metode mengajar guru terpaku pada kurikulum nasional dengan hanya memberi sedikit ruang gerak bagi kreativitas guru bersangkutan. Fakta ini jelas memprihatinkan mengingat , kreativitas guru telah menjadi faktor yang amat penting.guru bukan sekadar berperan sebagai pengajar di depan kelas, namun terutama sebagai inspirator bagi siswa untuk belajar secara mandiri.. UN juga telah menjadikan lembaga non formal seperti Bimbingan Belajar menjamur dan semakin diburu para siswa namun sayangnya lembaga Bimbingan Belajar yang marak tesebut hanya lembaga yang sekadar mengajarkan tips dan trik UN, atau lembaga pendukung lembaga formal/sekolah. Hal ini menjadikan waktu luang siswa bersangkutan untuk belajar secara mandiri sesuai dengan minat dasarnya menjadi terkurangi. Tujuan pendidikan bukanlah untuk sekadar memenuhi standar nilai semata (aspek kognitif), namun terutama dalam pembentukan karakter siswa.
Kritik terhadap pelaksanaan UN, terutama pada ditetapkannya hasil UN sebagai salah satu pertimbangan untuk penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan Permen No.74 dan 75 tentang Panduan UN Tahun Pelajaran 2009-2010 SD dan SMP/SMA/SMK. H.A.R. Tilaar (2006) menjelaskan bahwa Ujian Nasional bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di mana guru adalah instansi pertama yang berhak mengadakan penilaian atau evaluasi terhadap hasil belajar peserta didiknya. Sementara Soedijarto (2008) menjelaskan bahwa UN hanya menanyakan dimensi kognitif mata pelajaran, sehingga menjadikan peserta didik tidak merasa perlu melakukan eksperimen di laboratorium, membaca novel, latihan mengarang, dan tidak perlu melakukan secara terus-menerus dan berdisiplin dalam berbagai kegiatan belajar yang hakikatnya diarahkan untuk menanamkan nilai dan mengembangkan sikap.
Kritik terhadap pelaksanaan UN mencapai puncaknya pada pengaduan kepada Mahkamah Agung dan diputuskan penolakan adanya Ujian Nasional pada November 2009 lalu. Namun keputusan MA tersebut seakan hanya menjadi angin lalu karena pada tahun 2010 UN masih tetap berjalan dengan formula dan standar kelulusan seperti tahun sebelumnya.
Derasnya kritik terhadap pelaksanaan UN selama ini, tampaknya membuat pemerintah lebih melunak dalam pelaksanaan UN tahun 2011. Menghadapi UN tahun 2011, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) mengeluarkan dua keputusan berupa permendiknas tentang kriteria kelulusan dan pelaksanaan ujian sekolah dan ujian nasional. Poin penting yang terkandung dalam Permendiknas tersebut adalah nilai kelulusan UN tidak semata-mata ditentukan berdasarkan hasil UN, tetapi juga mengakomodasi nilai sekolah yang diperoleh berdasarkan rata-rata nilai rapor dan nilai Ujian Sekolah (US). Kelulusan UN ditentukan berdasarkan perolehan Nilai Akhir (NA) yang merupakan gabungan antara nilai sekolah (pada mata pelajaran yang di-ujinasional-kan dengan bobot 40%) dan nilai UN (dengan bobot 60%). Dengan demikian, Rumusan UN 2011 yang ditawarkan pemerintah untuk nilai gabungan = (0,6 x nilai UN) + (0,4 x nilai sekolah). Adapun rumus Nilai sekolah adalah: 0,6 Nilai Raport + 0,4 Ujian Sekolah). Nilai sekolah dihitung dari nilai rata-rata ujian sekolah dan nilai rapor semester 3-5 untuk tiap mata pelajaran UN. Setelah melalui penghitungan NA, peserta didik dinyatakan lulus UN apabila mencapai rata-rata NA sebesar 5,5 dan tidak boleh ada nilai di bawah 4,0, serta atas dasar musyawarah dewan guru dengan memperhatikan nilai akhlak mulia. Ini artinya, mata pelajaran tertentu, misalnya Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan IPA untuk jenjang pendidikan SMP, selain diujikan secara nasional juga diujikan melalui ujian sekolah oleh satuan pendidikan masing-masing.  Formula ini jelas sangat berbeda dengan kriteria kelulusan tahun-tahun sebelumnya yang menggunakan nilai UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan UN. Formula ini juga menjawab keresahan beberapa kalangan ketika nasib kelulusan seorang peserta didik hanya ditentukan berdasarkan perolehan hasil UN yang hanya ditempuh dalam beberapa hari saja itu. Sedangkan, proses pendidikan yang dilaksanakan peserta didik selama mengikuti aktivitas pembelajaran di tingkat satuan pendidikan terabaikan sama sekali.
III.           KESIMPULAN

Kritik terhadap sistem pendidikan di Indonesia, yang meliputi pemerataan pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan, penyeragaman pendidikan, kurikulum dan ujian nasional sampai sekarang masih banyak disampaikan oleh para intelektual maupun masyarakat yang peduli kepada pendidikan Indonesia. Namun masih ada kritik –kritik yang lain seperti sertifikasi guru, pemerataan guru yang perlu disampaikan kepada pemerintah sebagai penentu kebijakan pendidikan agar ditanggapi  secara arif sehingga sistem pendidikan di Indonesia  semakin hari semakin maju dan dapat mencapai tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan oleh pemerintah.




Daftar Pustaka



3.      Mudji Raharjo, http://mudjiarahardjo.uin malang.ac.id/component/content/142.html?task=view diunduh tanggal  4 April 2012



5.      http://edukasi.kompas.com/read/2009/09/03/12225010/Kritik.Pendidikan. Diunduh tanggal  4 April 2012