Blog ini berisi tentang filsafat ilmu , teknologi pembelajaran, teori-teori belajar, PTK, analisis kebijakan publik tentang pendidikan di Indonesia,kurikulum dan hal-hal yang berkaitan dengan kependidikan.
Rabu, 15 Agustus 2012
Rabu, 25 April 2012
Kritik Terhadap Sistem Pendidikan Nasional
I.
PENDAHULUAN
Sistem Pendidikan Nasional
diatur dalam Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 yaitu undang undang yang
mengatur masalah pendidikan di Indonesia. Jenjang pendidikan formal diatur
sedemikian rupa dengan harapan agar tujuan Negara yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea
IV dapat tercapai yaitu dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Menurut Darmaningtyas, Edi
Subkhan dalam bukunya yang berjudulManipulasi Kebijakan Pendidikan menyatakan
bahwa kebijakan pendidikan di Indonesia telah lama menjadi sasaran kritik dari
berbagai kalangan. Kritik yang diungkapkan, antara lain, menyangkut visi pendidikan
yang tidak jelas sampai pada implementasi yang problematik. Sorotan lain ialah
seputar akses dan pemerataan pendidikan. Kritik seakan tak kunjung habis dari
masa ke masa. Sistem pendidikan memang banyak kontroversi. Wajarlah bila di
kalangan masyarakat terus muncul kritik. Kritik yang muncul secara bertubi-tubi
karena pendidikan sangatlah penting bagi
bangsa dan merupakan fondasi awal dalam pengetahuan sekaligus bekal karakter
bagi anak-anak.
Dalam tulisan ini akan
dipaparkan tentang kritikan-kritikan
terhadap sistem pendidikan nasional yang meliputi : a) pemerataan
pendidikan versus peningkatan kualitas pendidikan, b) sistem pendidikan yang
mendorong urbanisasi, c) penyeragaman pendidikan, d) pemberlakuan kurikulum
nasional, dan e ) ujian nasional.
II. KRITIK TERHADAP SISTEM PENDIDIKAN
A. Pemerataan Pendidikan Versus PeningkatanKualitas Pendidikan
Pemerintah telah mencanangkan
Wajib Belajar 9 tahun yang mewajibkan seluruh rakyat Indonesia utnuk bersekolah
serendah-rendahnya lulus SMP. Pemerintah telah memberikan Dana Bantuan
Operasional Sekolah ( BOS ), AUSKM, dan berbagai bantuan dalam rangka
pemerataan pendidikan bagi rakyat Indonesia. Ketika kita melihat kenyataan
bahwa pemerataan pendidikan belum menjangkau seluruh rakyat Indonesia masih dan
banyak kasus anak-anak usia sekolah yang
tidak bersekolah karena berbagai macam alasan, khususnya yang menyangkut
masalah ekonomi keluarga yang sangat rendah. Pemerintah tidak memiliki
kemampuan untuk mewajibkan mereka untuk bersekolah.
Pemerataan pendidikan selalu
tidak sejalan dengan peningkatan kualitas pendidikan, maka pemerintah selalu
akan mengalami kesulitan apabila ingin mencapai keduanya sekaligus. Jika
pemerataan yang ditekankan maka akan terjadi kesenjangan dalam kualitas
pendidikan demikian pula sebaliknya.
Dalam rangka meningkatkan kualitas
pendidikan pemerintah berusaha dengan membentuk sekolah-sekolah
unggulan yang dinamakan Sekolah Standar
Nasional( SSN) dan Sekolah Bertaraf Internasional ( SBI ). Namun usaha
pemerintah ini sarat dengan kritikan. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dianggap menggiring pendidikan Indonesia bersifat
kapitalistis. Hal ini dibuktikan dengan adanya biaya operasional yang
membutuhkan biaya sangat besar sehingga sekolah masih harus memungut biaya
pendidikan yang relative mahal dari orangtua siswa. Di sisi lain SBI dituding menimbulkan ketidak adilan bagi anak-anak
bangsa yang seharusnya memiliki hak dan kesempatan yang sama. Anak-anak dari
keluaraga yang secara ekonomi kurang,
akan kehilangan akses masuk ke sekolah
SBI meskipun memilki prestasi yang baik.
SBI
yang menerapkan manajemen ISO dituding sebagai orientasi ke kapitalisme pendidikan. Sebagaimana yang
terdapat dalam Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan 2005-2009, RSBI bisa
dicapai melalui sertifikasi ISO. Jadi, sekolah-sekolah yang mencapai taraf
internasional tersebut harus memperoleh
sertifikat ISO. Ketentuan tersebut jelas akan mengantarkan manjemen pendidikan sebagai layaknya sebuah perusahaan
(korporasi). Hal itu terjadi karena ISO pada dasarnya adalah standar kinerja
dunia industri neoliberalisme, yang ketika digunakan sebagai acuan standar
untuk menilai sebuah institusi pendidikan dianggap belum tentu tepat.
B.
Sistem Pendidikan Yang
Mendorong Urbanisasi
Hal ini jelas
terlihat, rata-rata di tingkat desa hanya ada jenjang Sekolah Dasar dan
sejenisnya dan tidak ada jenjang pendidikan untuk Sekolah Menegah Pertama yang dapat menampung anak-anak yang ingin melanjutkan
sekolah di desanya. Begitupun di tingkat
kecamatan atau kota kabupaten barulah ada SMP atau SMA dan SMK, Perguruan Tinggi ada kota provinsi . Jadi, memang
ada sistem yang mengarahkan orang ke kota dan jarang yang kembali lagi ke desa nya setelah sampai sekolah di kota.
Impilikasi dari sistem tersebut adalah tergerusnya nilai-nilai budaya lokal
(kearifan lokal).
C. Penyeragaman Pendidikan
Kecenderungan pemerintah untuk
selalu melakukan penyeragaman tentu tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan keberagaman di dunia
pendidikan. Pada sistem pendidikan formal dari Taman Kanak-Kanak sampai
pada Pendidikan Tinggi maka akan ditemukan kejanggalan-kejanggalan, mulai dari adanya
penyeragaman bentuk “kurikulum”. bentuk penyeragaman yang lain seperti seragam
sekolah dan buku pelajaran .
Rakyat
Indonesia memang sengaja diseragamkan agar outputnya sama yakni agar menjadi
yakni menjadi buruh dari para kaum pemodal/pengusaha. Inilah kemudian yang kita
kenal dengan istilah link and match di mana pemerintah dalam hal ini
sebagai penyedia tenaga kerja dan kaum pemodal sebagai pembuat lapangan kerja
D.
Pembakuan Kurikulum
Sejak awal kemerdekaan, kurikulum
pendidikan berubah hampir setiap dekade, seperti kurikulum 1968, 1975, 1984,
dan terakhir 1994. Tetapi, pasca reformasi 1998, muncul wacana baru Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK), yang menurut rencana mau diterapkan mulai tahun
2004, tetapi sampai pada awal Februari 2006 ketika muncul lagi kebijakan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, status KBK masih bersifat uji coba. Semua
serba uji coba dan uji coba. Ketidak konsistenan dan ketidak jelasan visi
merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Kurikulum yang
diterapkan yang berubah-ubah tergantung Menteri Pendidikan yang sedang menjabat, jika ada pergantian jabatan Menteri Pendidikan biasanya kurikulum pendidikanpun kemungkinan besar akan berubah (sebagai contoh, kurikulum berbasis
kompetensi-KBK, kurikulum tingkat satuan pendidikan-KTSP. Selain berbagai persoalan tersebut, masih ada problem yang tak
kalah penting, yaitu gonta-ganti kurikulum. Jadi, belum ada kurikulum baku.
Rembuk nasional pendidikan dan kebudayaan yang melibatkan instansi-instansi
yang terkait belum mampu menetapkan kurikulum pendidikan yang baku. Dari sisi
simbolis dan jargon, kurikulum pendidikan nasional memang berbeda dan sudah
menjadi tradisi tersendiri jika setiap ganti menteri muncul program baru.
Padahal, jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya substansi kurikulum baru
tersebut telah ada dalam konsep pendidikan nasional sebelumnya. Dengan desain
tersebut, kompetensi yang ingin dicapai peserta didik dijadikan alasan.
Padahal, sistem pendidikan kita hanyalah diarahkan untuk melayani pasar yang
sangat jauh dari kepentingan kualitas dan kebutuhan masyarakat.
E. Pro Dan Kontra Ujian Nasional
Pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia telah dimulai sejak
tahun 2004 silam, sebagai bagian dari rencana jangka panjang pemerintah
meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Hal ini dapat dijumpai dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 tentang Ujian Nasional
(UN) pasal 3 yang berbunyi : “Ujian Nasional bertujuan untuk mengukur dan
menilai kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi peserta didik pada mata
pelajaran yang ditentukan, dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan.”
(Permendiknas 2005. Pada awal pelaksanaannya mata pelajaran yang diujikan
bersifat umum meliputi bahasa Indonesia, matematika dan bahasa Inggris. Namun
pada tahun 2009 jumlah mata pelajaran yang diujikan meningkat menjadi enam mata
pelajaran yang disesuaikan dengan penjurusan siswa (kelas Bahasa, IPA dan IPS).
Begitu pun standar nilai rata-rata ditingkatkan secara bertahap dari tahun ke
tahun, mulai dari 4.1 hingga sekarang rata-rata 5.5. Jika pada awalnya UN hanya
diperuntukkan pada tingkat menengah atas (SMA) sekarang meliputi juga SMP dan
bahkan SD. Berdasarkan definisi awalnya UN merupakan ujian tertulis yang
menjadi salahsatu faktor penentu kelulusan siswa. Sampai di sini tidak ada
masalah dan telah menjadi suatu keharusan dalam sistem pendidikan modern.
Permasalahan muncul ketika UN diberlakukan secara nasional
dan menjadi satu-satunya faktor yang menentukan kelulusan siswa bersangkutan.
Dalam argumennya pemerintah menekankan bahwa UN perlu terus dijalankan untuk
meningkatkan kualitas SDM Indonesia agar tidak semakin tertinggal dari
negara-negara lainnya, dan untuk kepentingan pemetaan pendidikan. Dalam catatan
pemerintah juga disebutkan bahwa dari tahun ke tahun telah terjadi peningkatan
jumlah kelulusan siswa, dan betapa ternyata UN juga terbukti telah meningkatkan
semangat belajar siswa dan kualifikasi guru bersangkutan. Sementara itu di sisi lain, kalangan intelektual dan tokoh
pendidikan nasional kerap mengkritisi kebijakan standarisasi UN. Kritik lainnya
menyangkut efek domino negatif dari diberlakukannya standarisasi UN secara
nasional, seperti: ditekannya kreativitas guru dan sekolah, terpinggirkannya
ilmu akhlaq dan budaya, tersitanya waktu luang siswa untuk kegiatan mandiri
sebagai akibat dari fokus siswa dan pihak sekolah terhadap UN semata.Tentunya
ketika kita membahas masalah kemajuan sebuah peradaban maka tidak bisa
dilepaskan dari sistem pendidikan yang berlaku pada saat itu. Mulyadhi
Kartanegara dan Azyumardi Azra, dalam
bukunya menekankan berkali-kali bahwa pendidikan adalah faktor kunci kemajuan
sebuah peradaban. Secara umum sistem pendidikan yang berlaku pada masa itu
dapat dibagi menjadi dua, pendidikan formal dan informal.
Beberapa Kritik Tentang Ujian Nasional Standarisasi UN dan
meningkatnya nilai minimal kelulusan siswa tidak bisa dipungkiri telah
meningkatkan motivasi belajar dan focus para siswa. Namun sayangnya hanya pada
mata pelajaran yang diujikan. Hal ini berarti terpinggirkannya mata pelajaran
non UN seperti pendidikan akhlaq dan budaya. Begitu pun metode mengajar guru
terpaku pada kurikulum nasional dengan hanya memberi sedikit ruang gerak bagi
kreativitas guru bersangkutan. Fakta ini jelas memprihatinkan mengingat ,
kreativitas guru telah menjadi faktor yang amat penting.guru bukan sekadar
berperan sebagai pengajar di depan kelas, namun terutama sebagai inspirator
bagi siswa untuk belajar secara mandiri.. UN juga telah menjadikan lembaga non
formal seperti Bimbingan Belajar menjamur dan semakin diburu para siswa namun
sayangnya lembaga Bimbingan Belajar yang marak tesebut hanya lembaga yang
sekadar mengajarkan tips dan trik UN, atau lembaga pendukung lembaga formal/sekolah.
Hal ini menjadikan waktu luang siswa bersangkutan untuk belajar secara mandiri
sesuai dengan minat dasarnya menjadi terkurangi. Tujuan pendidikan bukanlah
untuk sekadar memenuhi standar nilai semata (aspek kognitif), namun terutama
dalam pembentukan karakter siswa.
Kritik terhadap pelaksanaan UN, terutama
pada ditetapkannya hasil UN sebagai salah satu pertimbangan untuk penentuan
kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan
Permen No.74 dan 75 tentang Panduan UN Tahun Pelajaran 2009-2010 SD dan
SMP/SMA/SMK. H.A.R. Tilaar (2006) menjelaskan bahwa Ujian Nasional bertentangan
dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di mana guru
adalah instansi pertama yang berhak mengadakan penilaian atau evaluasi terhadap
hasil belajar peserta didiknya. Sementara Soedijarto (2008) menjelaskan bahwa
UN hanya menanyakan dimensi kognitif mata pelajaran, sehingga menjadikan
peserta didik tidak merasa perlu melakukan eksperimen di laboratorium, membaca
novel, latihan mengarang, dan tidak perlu melakukan secara terus-menerus dan
berdisiplin dalam berbagai kegiatan belajar yang hakikatnya diarahkan untuk
menanamkan nilai dan mengembangkan sikap.
Kritik terhadap pelaksanaan UN mencapai
puncaknya pada pengaduan kepada Mahkamah Agung dan diputuskan penolakan adanya
Ujian Nasional pada November 2009 lalu. Namun keputusan MA tersebut seakan
hanya menjadi angin lalu karena pada tahun 2010 UN masih tetap berjalan dengan
formula dan standar kelulusan seperti tahun sebelumnya.
Derasnya kritik terhadap
pelaksanaan UN selama ini, tampaknya membuat pemerintah lebih melunak dalam
pelaksanaan UN tahun 2011. Menghadapi UN tahun 2011, Menteri Pendidikan Nasional
(Mendiknas) mengeluarkan dua keputusan berupa permendiknas tentang kriteria
kelulusan dan pelaksanaan ujian sekolah dan ujian nasional. Poin
penting yang terkandung dalam Permendiknas tersebut
adalah nilai kelulusan UN tidak
semata-mata ditentukan berdasarkan hasil UN, tetapi juga mengakomodasi nilai sekolah yang diperoleh
berdasarkan rata-rata nilai rapor dan nilai Ujian Sekolah (US). Kelulusan UN ditentukan
berdasarkan perolehan Nilai Akhir (NA) yang merupakan gabungan antara nilai sekolah (pada mata pelajaran
yang di-ujinasional-kan dengan bobot 40%) dan nilai UN (dengan bobot 60%).
Dengan demikian, Rumusan UN 2011 yang ditawarkan pemerintah untuk nilai
gabungan = (0,6 x nilai UN) + (0,4 x nilai sekolah). Adapun rumus Nilai sekolah
adalah: 0,6 Nilai Raport + 0,4 Ujian Sekolah). Nilai sekolah dihitung dari
nilai rata-rata ujian sekolah dan nilai rapor semester 3-5 untuk tiap mata
pelajaran UN. Setelah melalui penghitungan NA, peserta didik dinyatakan lulus
UN apabila mencapai rata-rata NA sebesar 5,5 dan tidak boleh ada nilai di bawah
4,0, serta atas dasar musyawarah dewan guru dengan
memperhatikan nilai akhlak mulia. Ini artinya, mata pelajaran tertentu,
misalnya Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan IPA untuk jenjang
pendidikan SMP, selain diujikan secara nasional juga diujikan melalui ujian sekolah oleh satuan pendidikan masing-masing. Formula ini jelas sangat berbeda
dengan kriteria kelulusan tahun-tahun
sebelumnya yang menggunakan nilai UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan UN. Formula ini
juga menjawab keresahan beberapa kalangan ketika nasib kelulusan seorang peserta
didik hanya ditentukan berdasarkan perolehan hasil UN yang hanya ditempuh dalam
beberapa hari saja itu. Sedangkan, proses pendidikan yang dilaksanakan peserta
didik selama mengikuti aktivitas pembelajaran di tingkat
satuan pendidikan terabaikan sama sekali.
III.
KESIMPULAN
Kritik
terhadap sistem pendidikan di Indonesia, yang meliputi pemerataan pendidikan,
peningkatan kualitas pendidikan, penyeragaman pendidikan, kurikulum dan ujian
nasional sampai sekarang masih banyak disampaikan oleh para intelektual maupun
masyarakat yang peduli kepada pendidikan Indonesia. Namun masih ada kritik
–kritik yang lain seperti sertifikasi guru, pemerataan guru yang perlu
disampaikan kepada pemerintah sebagai penentu kebijakan pendidikan agar
ditanggapi secara arif sehingga sistem
pendidikan di Indonesia semakin hari
semakin maju dan dapat mencapai tujuan pendidikan nasional yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
Daftar
Pustaka
1. Agus Salim, 2011, http://agus1salim.blogspot.com/2011/02/ujian-nasional-indonesia.html
diunduh tanggal 4 April 2012
2. Ima, http://www.ima-unhas.com/index.php/pendidikan/178-qkritik-sistem-pendidikan-di-indonesia-fenomena-pabrikasi-buruh-industriq.html,Diunduh
tanggal 4 april 2012
3. Mudji
Raharjo, http://mudjiarahardjo.uin malang.ac.id/component/content/142.html?task=view
diunduh tanggal 4 April 2012
4. http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/85020
Dunduh tanggal 4 APRIL 2012,
diunduh tanggal 4 April 2012
5. http://edukasi.kompas.com/read/2009/09/03/12225010/Kritik.Pendidikan.
Diunduh tanggal 4 April 2012
Langganan:
Postingan (Atom)