1. Pengetahuan dikembangkan melalui negosiasi sosial
Lingkungan sosial adalah sesuatu yang amat penting bagi perkembangan pemahaman.kita, demikian juga dalam perkembangan proposisi-proposisi yang kita namakan pengetahuan.Pertama orang lain adalah merupakan mekanisme untuk mentes pemehaman-pemahaman kita. Orang lain adalah sumber terbesar dari pandangan alternatif untuk menentang pandangan kita sebagai sumber kebingungan yang mendorong kita untuk belajar. Kedua kita mencari proposisi-proposisi yang cocok dengan dengan konstruksi-konstruksi pemahaman kita tentang dunia. Fakta-fakta yang mendapat persetujuan luas atau fakta umum belum tentu sebagai kebenaran tertinggi.Lingkungan kita adalah sumber utama yang menyediakan pandangan-pandangan alternatif dan informasi –informasi tambahan untuk mentes viabilitas dari pemahaman kita dalam membangun proposisi/pengetahuan yang cocok dengan pemahaman kita.(Cunningham, Duffy & Knuth, 1991).
Menurut Vygotky, Konstruktivis memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individu dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan melalui adaptasi intelektual dalam konteks sosial budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara individual yakni melalui proses regulasi diri secara internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individu.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah:
(1), mengenai fungsi bahasa dalam komunikasi sosial yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan,
(2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani si belajar dalam upayanya membangun pengetahuan,pengertian dan kompetensi.
Teori Vygotsky menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajar dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajar.Fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky meyakini bahwa pembelajaran terjadi saat siswa beraktivitas menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka.
Contoh : Ketika ada fakta bahwa bumi itu datar dan matahari mengelilingi bumi , ini adalah kesepakatan umum bahwa konsep atu prinsip yang muncul adalah penafsiran terbaik bagi dunia kita. Konsep ini tidak mencerminkan sebagai kebenaran tertinggi tetapi merupakan penfsiran yang paling dapat diterima terhadap dunia pengalaman kita.
2. Viabilitas pengetahuan
Piaget berpendapat, adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses yang dialami individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru. pengertian orang itu menjadi berkembang.
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai.Pengalaman yang baru itu biasa, jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidak seimbangan (disequilibrium). Akibat ketidak seimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Kebingungan si belajar sebagai stimulus dan organizer karena akan mensugestikan tujuan intelektual maupun pragmatic dalam belajar.
Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidak seimbangan dan keadaan seimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi keseimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti memberikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada individu tersebut untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan kepada pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
3. Perbedaan Pandangan Ajaran Behavioristik Dengan Konstruktivistik
3. Perbedaan Pandangan Ajaran Behavioristik Dengan Konstruktivistik
a. Belajar
Pandangan Behavioristik berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses perolehan pengetahuan oleh si belajar melalui suatu kegiatan pembelajaran yang melalui tranformasi pengetahuan dari guru kepada si belajar.
Pengetahuan yang diperoleh bersifat obyektif , pasti dan relatif tetap karena sudah melalui proses pengujian dan kesepakatan bersama
Sedangkan pandangan Konstruktivistik belajar adalah suatu suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri si bellajar dengan faktor ekstern atau lingkungan sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
( Jean Piaget) menyatakan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran si belajar melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru pikiran, sedangkan akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Amri,2010:145). Pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh si belajar, melainkan melalui tindakan . Perkembangan kognitif bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya..
Degeng( 2010) melukiskan belajar itu bagaikan air yang mengalir di sebuah sungai , yang dimaksudkan adalah bahwa belajar itu sesuatu yang alamiah, mengalir, dinamis, penuh dengan resiko dan menggairahkan..
Belajar adalah suatu proses pemaknaan pengetahuan(meaningfull) .belajar adalah adanya pemahaman .
b.a. Pembelajaran
Pandangan behavioristik, pembelajaran bertujuan agar si belajar mendapat pengetahuan yang sama dengan pengajar terhadap pengetahuan yang dipelajari. Pengetahuan tersebut sudah terstruktur dengan rapi . suatu pembelajaran akan dikatakan berhasil apabila si belajar dapat menambah pengetahuan atau mampu mengungkapkan kembali apa yang telah dipelajari. Di dalam pembelajaran diberlakukan aturan-aturan yang ketat yang dapat membawa keberhasilan dalam pembelajaran. Sehingga ketaatan kepada aturan dipandang sebagai kunci sukses dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Pandangan Konstruktivistik ; Pembelajaran bertujuan menekankan pada penciptaan pemahaman baru yang menuntut kreativitas si belajar dan menghasilkan produktivitas yang nyata pada konteks nyata . Pemahaman yang diciptakan atau dibangun oleh si belajar bisa berbeda-beda sesuai dengan kemampuannya melakukan asimilasi dan akomodasi. Si belajar diperhadapkan dengan lingkungan belajar yang penuh dengan kebebasan , kebebasan merupakan unsur yang sangat esensial dalam pembelajaran sehingga dipandang sebagai kunci keberhasilan bagi pembelajaran..
b. Peran Guru dalam pembelajaran
Pandangan Behavioristik, Guru berperan sangat penting karena sebagai pengajar yang berusaha untuk mentransformasikan pengetahuan kepada si belajar. Guru sebagai pengontrol proses pembelajaran yang terus menerus menegakkan aturan –aturan agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar agar tujuan pembelajaran dapat dicapai.
Pandangan Konstruktivistik memandang Guru sebagai fasilitator atau nara sumber yang membantu si belajar dalam menciptakan lingkungan belajar yang bebas dan kondusif, membantu si belajar untuk memanfaatkan berbagai sumber belajar , sehingga si belajar dapat dengan bebas melakukan asimilasi dan akomodasi melalui interaksi dengan lingkungan belajarnya.
c. Peran Siswa dalam pembelajaran
Pandangan Behavioristik, siswa dipandang sebagai si belajar yang pasif yang akan diwarisi pengetahuan oleh pengajar , si belajar perlu dikontrol dengan diberikan aturan-aturan agar proses transformasi dapat berjalan dengan baik si belajar dapat memiliki pemahaman seperti yang dipahami oleh pengajar sehingga tujuan pengajar tercapai..
Pandangan Konstruktivistik, siswa adalah sebagai si belajar yang aktif dan memiliki kebebasan untuk memiliki tujuan sendiri, mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan gagasan yang mereka miliki ketika berhadapan dengan lingkungan belajarnya.
4. Krtitik /Dekonstruksi Peter West Wood
a. Apakah pengetahuan tidak dapat diajarkan secara langsung kepada siswa?
(Yates dan Yates 1990) menyatakan, menyajikan pengetahuan secara langsung kepada siswa tidak menghalangi proses-proses mental untuk membuat makna. Peran penting guru sebagai pengajar memberikan penjelasan yang jelas terhadap informasi baru sangat membantu dalam memfasilitasi proses mental tersebut. Bahwa sambil belajar ada proses berpikir yang melibatkan sumber-sumber belajar seperti buku, artikel, model, diagram, program computer, kamera dan film, dan paparan manusia untuk mengatur dan menyajikan pengetahuan baru untuk diasimilasikan kemudian direkonstruksi dalam pikiran siswa.
Meyer( 20040) menunjukkan bahwa banyak konstruktivis menekankan pentingnya aktivitas siswa dalam memperoleh pengetahuan secara pribadi , mengabaikan peran penting dari aktivitas kognitif. Pengajaran langsung sangat mungkin untuk merangsang aktivitas kognitif dengan berpikir verbal dan visual, tidak perlu dengan aktivitas fisik. Dengan kata lain penjelasan langsung dapat merangsang pemikiran. siswa
Wragg dan Brown (1993) "giving understanding to another" bahwa penjelasan yang jelas kepada kelompok siswa membantu meminimalkan perbedaan dalam pengetahuan mereka tentang suatu topik tertentu, dengan demikian akan mengurangi kesalahpahaman .
b. Apakah metode berdasarkan prinsip-prinsip konstruktivis cocok untuk semua bidang belajar?
Walter Dick (1992), beberapa konstruktivis berpendapat teori ini berlaku untuk semua domain belajar manusia. Walter Dickmemberikan pertanyaan yang logis : Apa batas-batas teori? dan, Apakah benar sebuah teori, atau strategi pembelajaran yang merupakan jenis hasil belajar tertentu? Seorang siswa secara aktif membutuhkan untuk menemukan jalan kepada pengetahuan dasar dan belajar numerasi yang memperhadapkan siswa dengan tugas-tugas yang sulit . Pembelajaran langsung yang baik akan lebih memungkinkan siswa untuk mengembangkan basis pengetahuan yang lebih subtansial yang akan meningkatkan proses berpikir siswa dalam situasi berikutnya baik di dalam dan di luar sekolah.
Jonassen( 1992) menjelaskan tiga tahap model pembelajaran akuisisi pengetahuan:
Tahap 1 : initial knowledge acquisition( akuisisi pengetahuan awal)
Tahap 2 : Advance knowledge (pengetahuan lanjut)
Tingkat 3 : Expertise ( ahli )
Ini mendukung pandangan bahwa pada tahap akuisisi pengetahuan awal, lebih baik dilayani dengan pembelajaran langsung sedangkan tahap akuisisi pengetahuan lanjut sampai ke tahap keahlian dapat menggunakan pendekatan yang lebih konstruktivis.
Contoh : Mengajarkan membaca dan menulis permulaan akan lebih efektif jika dilakukan dengan pengajaran langsung.
c. Apakah pendekatan konstruktivis ideal bagi setiap pembelajar ?
Mc Cormick (1995) mengamati beberapa siswa, untuk mengalami penemuan(discovery) yang tidak terstruktur, dimana siswa kurang independen, sangat tidak efisien untuk mencapai pembelajaran yang diinginkan. Mereka membutuhkan waktu lebih lama dari yang dibutuhkan untuk mengajarkan pengetahuan yang sama dibandingkan menggunakan jika dengan penjelasan langsung.
Swanson( 2000) Siswa,dengan kesulitan belajar, siswa kurang termotivasi , dan siswa dari latar belakang yang kurang beruntung, tampaknya akan lebih cepat bila diajarkan dengan metode eksplisit dalam memperoleh keterampilan , dasar –dasar teori , melibatkan banyak model dan praktek yang dibimbing langsung oleh guru.
Delpit (1988) mengutip seorang mahasiswa yang mengatakan "Saya tidak merasa ia/guru sedang mengajar kita sesuatu .Dia mengoreksi setiap tugas dan kita belajar darinya. dia tidak mengajari kami sesuatu” “Vaughn ( 1995) melaporkan hampir semua siswa masih sangat membutuhkan pengarahan langsung dari guru, terutama ketika berhadapan dengan mata pelajaran yang sulit. Hal ini jelas bahwa dengan menggunakan pendekatan berbasis konstruktivis tidak menjamin bahwa semua siswa dalam kelas akan mengkonstruk pengetahuan yang identik tentang topik tertentu. Seorang pembelajar dapat membuat kesalahpahaman konsep atau mempunyai konsepsi tidak akurat.
d.Apakah pendekatan konstruktivis kompatibel dengan pengolahan kognitif manusia?
Tumbuhnya penelitian tentang "teori beban kognitif" ( Cognitive Load Theory) yang meragukan tentang keberhasilan dari penemuan-jenis kegiatan terstruktur dan terfokus. CLT sangat berkaitan dengan tugas-tugas di mana peserta didik sering kewalahan oleh jumlah dan keragaman informasi yang harus diproses dan diingat secara bersamaan. Maka dengan mudah bisa terjadi penemuan atau masalah – dalam situasi pembelajaran berbasis.
(Paas et al., 2004), menyarankan bahwa kegiatan belajar dengan bimbingan minimal dari guru maka pembelajaran menjadi kurang efektif karena mereka memberikan tuntutan yang tidak masuk akal pada kemampuan peserta didik dalam pengolahan informasi, khususnya pada memori kerja.
(Kirschner et al. 2006 ). Paas et al. (2004, p. 1) menjelaskan masalah ini:
.. . penurunan kinerja di kedua ekstrem beban kognitif yang terlalu rendah (underload) atau beban terlalu tinggi (overload),menjadikan pelajar dapat berhenti belajar.
Dengan mengacu pada overload, Kirschner et al. (2006) mengamati bahwa, peserta didik dapat terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah untuk waktu yang lama dan akibatnya hampir tidak ada belajar '[penekanan ditambahkan]. Sementara semua kegiatan belajar dan tugas memang melibatkan beberapa derajat beban kognitif intrinsik, seorang ahli di bidang ini merekomendasikan bahwa materi pengajaran dan metode harus mencoba untuk meminimalkan beban ini dengan memecah tugas menjadi langkah-langkah yang dikelola dan memberikan dukungan yang memadai untuk belajar.
Kritik terhadap CLT bahwa sementara teori overload kognitif, dapat mempertahankan metode penemuan(discovery) yang benar-benar terarah dan eksploratif, tidak berlaku untuk pendekatan yang berbasis masalah yang digunakan saat ini, karena sebenarnya guru hanya memberikan yang diperlukan berupa dukungan dan bimbingan (perancah) agar mereka terlibat dalam kegiatan belajar (Schmidt et al, 2007.).
5. Prinsip-Prinsip Konstruktivistik yang Melandasi Project Based Learning( PBL )
Anik Gufron(2010) Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) adalah pembelajaran yang menggunakan proyek sebagai basis materi pembelajaran bagi siswa, sehingga dapat berpikir kritis, dan terampil memecahkan berbagai masalah/proyek untuk memperoleh konsep atau pengetahuan yang esensial. PBL menekankan pada kegiatan perumusan kegiatan, merancang, melaksanakan pekerjaan, dan mengevaluasi hasil kerja.
Prinsip-Prinsip Konstruktivistik yang melandasi PBL adalah sebagai berikut :
a. Letakkan /kaitkan kegiatan belajar ke dalam tugas –tugas atau masalah yang lebih besar.
PBL adalah cara yang konstruktif dalam pembelajaran menggunakan permasalahan sebagai stimulus dan berfokus kepada aktivitas pelajar. [Boud & Felleti, 1991]. PBL adalah metode pengajaran sistematik yang mengikutsertakan pelajar ke dalam pembelajaran pengetahuan dan keahlian yang kompleks, pertanyaan authentic dan perancangan produk dan tugas [University of Nottingham, 2003]. Si belajar benar-benar memahami dan menrima kegiatan belajar khusus dalam relasinya dengan tugas yang kompleks.
b. Dukung si belajar dalam mengembangkan kepemilikan atas keseluruhan tugas atau masalah.
Pembelajaran Berbasis Proyek dibangun berdasarkan ide-ide pebelajar sebagai bentuk alternatif pemecahan masalah nyata tertentu, dan pebelajar mengalami proses belajar pemecahan masalah itu secara langsung. Si belajar dilibatkan dalam proyek tertentu maka diasumsikan si belajar akan memahami dan menyadari relevansi serta nilai dari masalah.
c. Desainlah tugas yang otentik
Dalam PBL siwa dihadapkan pada masalah dan mencoba untuk menyelesaikan dengan bekal pengetahuan yang mereka miliki. Mengidentifikasi apa yang harus dipelajari untuk memahami lebih baik permasalahan dan bagaimana cara memecahkannya. Mencari informasi dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, laporan, informasi online atau bertanya pada pakar yang sesuai dengan bidangnya. Melalui cara ini, belajar dipersonalisasi sesuai dengan kebutuhan dan gaya hidup tiap individu. Setelah mendapatkan informasi, mereka kembali pada masalah dan mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari untuk memahami dan menyelesaikannya. Di akhir proses, siswa melakukan penilaian terhadap dirinya dan memberi kritik bagi teman-temannya.
d. Desainlah tugas-tugas dan lingkungan belajar untuk merefleksikan kompleksitas lingkungan.
Dalam PBL kita berupaya mendukung si belajar bekerja dalam lingkungan yang kompleks. Kegiatan pelajar difokuskan pada pekerjaan yang serupa dengan situasi yang sebenarnya. Aktivitas ini mengintegrasikan tugas otentik dan menghasilkan sikap profesional.
e. Berikan si Belajar “kepemilikan “ atas proses yang digunakan untuk membangun solusi.
Dalam PBL, si belajar diharapkan akan merasa “memiliki” atas proyek tersebut. Perencanaan berisi tentang aturan main, pemilihan aktivitas yang dapat mendukung dalam menjawab pertanyaan esensial, dengan cara mengintegrasikan berbagai subjek yang mungkin, serta mengetahui alat dan bahan yang dapat diakses untuk membantu penyelesaian proyek (The George Lucas Educational Foundation : 2005).
f. Desain lingkungan belajar yang mendukung dan menantang berpikir si belajar.
Dalam PBL, Proses belajar dibentuk dari ketidakteraturan dan kompleksnya masalah, hal tersebut digunakan sebagai pendorong bagi siswa untuk belajar mengintegrasikan dan mengorganisasi informasi yang didapat sehingga nantinya dapat selalu diingat dan diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah yang akan dihadapi.
g. Mendorong pengetesan ide-ide melawan pandangan- pandangan alternatif dan konteks-konteks alternatif.
Dalam PBL si belajar menggunakan sumber-sumber belajar dn materi pelajaran sebagai sumber informasi yang dipergunakan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Nara sumber dan fasilitator membantu si belajar untuk melakukan inkuiri melalui proyek yang dikerjakannya. Pembelajaran Berbais Proyek yang diimplementasikan secara baik memberikan kepada siswa pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas.
h. Sediakan kesempatan dan dukungan bagi terjadinya refleksi baik terhadap konten yang dipelajari maupun terhadap proses belajar yang dijalani.
PBL meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Penelitian pada pengembangan keterampilan kognitif tingkat tinggi siswa menekankan perlunya bagi siswa untuk terlibat di dalam tugas-tugas pemecahan masalah dan perlunya untuk pembelajaran khusus pada bagaimana menemukan dan memecahkan masalah. Banyak sumber yang mendiskripsikan lingkungan belajar berbasis proyek membuat siswa menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang kompleks.
Daftar Pustaka :
1. http://www.scribd.com/doc/45793167/Teori-Belajar-Konstruktivis, diakses tanggal 9 Oktober 2011 ( Peter Westwood What Teachers Need to Know About Teaching Methods)
2. Degeng , Nyoman S (2010) Paradigma Baru Pembelajaran Di Perguruan Tinggi: Dari Behavioristik ke Konstruktivistik, Bahan Seminar Pengembangan Model-Model Pembelajaran Inovatif, UKSW Salatiga.
3. Gufron,Anik(2010) Model Pembelajaran Inovatif, Bahan Seminar Pengembagan Model-Model Pembelajaran Inovatif, UKSW, Salatiga
4. Kamdi,Waras(2008) Pembelajaran Berbasis Proyek, Materi Pelatihan Guru SMP SMA Tarakan
5. Savery and Duffy(996) Problem Based Learning: An Instructional Model And Its Constructivist Framework;Brent G. Wilson( ed) Constructivist Learning Environments.Case Studies in Instructional Design;New Jersey : Educational Technology Publications)
6. Amri,Sofan & Akhmadi,Iif Khoiru ( 2010) Konstruksi Pengembangan Pembelajaran Pengaruhnya Terhadap Praktik Kurikulum, PT Pustaka Raya, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar