Halaman

Rabu, 12 Oktober 2011

Teknologi Pembelajaran Konstruktivistik


1.  Pengetahuan dikembangkan melalui negosiasi sosial 
Lingkungan sosial adalah sesuatu yang amat penting bagi perkembangan pemahaman.kita, demikian juga dalam perkembangan proposisi-proposisi yang kita namakan pengetahuan.Pertama orang lain adalah merupakan mekanisme untuk mentes pemehaman-pemahaman kita. Orang lain adalah sumber terbesar  dari pandangan alternatif untuk menentang pandangan kita  sebagai sumber kebingungan yang mendorong kita untuk belajar. Kedua kita mencari proposisi-proposisi  yang cocok dengan dengan konstruksi-konstruksi pemahaman kita tentang dunia. Fakta-fakta  yang mendapat persetujuan luas atau fakta umum  belum tentu sebagai kebenaran tertinggi.Lingkungan kita adalah sumber utama yang menyediakan pandangan-pandangan alternatif dan informasi –informasi tambahan untuk mentes viabilitas dari pemahaman kita dalam membangun proposisi/pengetahuan yang cocok dengan pemahaman kita.(Cunningham, Duffy & Knuth, 1991).

Menurut Vygotky, Konstruktivis memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individu dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan melalui adaptasi intelektual dalam konteks sosial budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara individual yakni melalui proses regulasi diri secara internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individu.

Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah:
(1), mengenai fungsi bahasa dalam komunikasi sosial yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan,
(2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani si belajar dalam upayanya membangun pengetahuan,pengertian dan kompetensi.

Teori Vygotsky menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajar  dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajar.Fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konteks budaya.  Vygotsky meyakini bahwa pembelajaran terjadi saat siswa beraktivitas  menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka.

Contoh : Ketika ada fakta bahwa bumi itu datar  dan matahari mengelilingi bumi , ini adalah kesepakatan umum bahwa konsep atu prinsip  yang muncul adalah penafsiran terbaik bagi dunia kita. Konsep ini tidak mencerminkan sebagai kebenaran tertinggi tetapi merupakan penfsiran yang paling dapat diterima  terhadap dunia pengalaman kita.

2. Viabilitas pengetahuan  

Piaget berpendapat,  adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.

Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses yang dialami individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru. pengertian orang itu menjadi berkembang.

Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai.Pengalaman yang baru itu biasa, jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidak seimbangan (disequilibrium). Akibat ketidak seimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Kebingungan si belajar  sebagai stimulus dan organizer karena akan mensugestikan tujuan intelektual maupun pragmatic dalam belajar.

Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidak seimbangan dan keadaan seimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi keseimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti memberikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada individu tersebut  untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar  setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan kepada pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.


3. Perbedaan Pandangan Ajaran Behavioristik Dengan Konstruktivistik
a.    Belajar
Pandangan Behavioristik  berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses perolehan pengetahuan oleh si belajar  melalui suatu kegiatan pembelajaran yang melalui tranformasi pengetahuan dari guru kepada si belajar.
Pengetahuan yang diperoleh bersifat obyektif , pasti dan relatif tetap karena sudah melalui proses pengujian dan kesepakatan bersama

Sedangkan pandangan Konstruktivistik belajar adalah suatu suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri si bellajar  dengan faktor ekstern atau lingkungan sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

( Jean Piaget)  menyatakan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran si belajar melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru pikiran, sedangkan akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Amri,2010:145). Pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh si belajar, melainkan melalui tindakan . Perkembangan kognitif bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya..

Degeng( 2010) melukiskan belajar itu bagaikan air yang mengalir di sebuah sungai , yang dimaksudkan adalah bahwa belajar itu sesuatu yang alamiah, mengalir, dinamis, penuh dengan resiko dan menggairahkan..
Belajar adalah suatu proses pemaknaan pengetahuan(meaningfull) .belajar adalah adanya pemahaman .    

b.a. Pembelajaran
     Pandangan behavioristik, pembelajaran bertujuan agar si belajar mendapat pengetahuan yang sama dengan pengajar terhadap pengetahuan yang dipelajari. Pengetahuan tersebut sudah terstruktur dengan rapi . suatu pembelajaran akan dikatakan berhasil apabila si belajar dapat menambah pengetahuan atau mampu mengungkapkan kembali apa yang telah dipelajari. Di dalam pembelajaran diberlakukan aturan-aturan yang ketat  yang dapat membawa keberhasilan dalam pembelajaran. Sehingga ketaatan kepada aturan dipandang sebagai kunci sukses dalam mencapai tujuan pembelajaran.

Pandangan Konstruktivistik ; Pembelajaran bertujuan menekankan pada penciptaan pemahaman baru  yang menuntut kreativitas si belajar dan menghasilkan produktivitas yang nyata pada konteks nyata . Pemahaman yang diciptakan atau dibangun oleh si belajar bisa berbeda-beda  sesuai dengan kemampuannya melakukan asimilasi dan akomodasi. Si belajar diperhadapkan dengan lingkungan belajar yang penuh dengan kebebasan , kebebasan merupakan unsur yang sangat esensial dalam pembelajaran sehingga  dipandang sebagai kunci keberhasilan bagi pembelajaran..

b.    Peran Guru dalam pembelajaran
Pandangan Behavioristik, Guru berperan sangat penting karena sebagai pengajar yang berusaha untuk mentransformasikan pengetahuan  kepada si belajar. Guru sebagai pengontrol  proses pembelajaran yang terus menerus menegakkan aturan –aturan agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar agar tujuan pembelajaran dapat dicapai.

Pandangan Konstruktivistik memandang Guru sebagai fasilitator  atau nara sumber yang membantu  si belajar dalam  menciptakan lingkungan belajar yang bebas  dan kondusif, membantu si belajar untuk memanfaatkan berbagai sumber belajar , sehingga si belajar dapat dengan bebas melakukan asimilasi dan akomodasi  melalui interaksi dengan lingkungan belajarnya.

c.    Peran Siswa dalam pembelajaran
Pandangan Behavioristik, siswa dipandang sebagai si belajar yang pasif  yang akan diwarisi  pengetahuan oleh pengajar , si belajar perlu dikontrol dengan diberikan aturan-aturan agar proses transformasi dapat berjalan dengan baik si belajar dapat memiliki pemahaman seperti yang dipahami oleh pengajar sehingga tujuan pengajar tercapai..

Pandangan Konstruktivistik, siswa adalah  sebagai si belajar yang aktif dan memiliki kebebasan untuk memiliki tujuan sendiri, mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan gagasan yang mereka miliki ketika berhadapan dengan lingkungan belajarnya.

4. Krtitik /Dekonstruksi Peter West Wood
a. Apakah pengetahuan tidak dapat diajarkan secara langsung kepada  siswa?
(Yates dan Yates 1990) menyatakan,  menyajikan pengetahuan secara langsung kepada siswa tidak menghalangi  proses-proses mental untuk membuat makna. Peran penting guru sebagai pengajar memberikan penjelasan yang jelas terhadap informasi baru sangat membantu dalam  memfasilitasi proses mental tersebut. Bahwa sambil belajar ada proses berpikir yang melibatkan  sumber-sumber belajar seperti buku, artikel, model, diagram, program computer, kamera dan film, dan paparan  manusia untuk mengatur dan menyajikan pengetahuan baru  untuk diasimilasikan kemudian  direkonstruksi dalam pikiran siswa.  
Meyer( 20040) menunjukkan bahwa banyak konstruktivis menekankan pentingnya aktivitas siswa dalam memperoleh pengetahuan  secara pribadi , mengabaikan  peran penting dari aktivitas kognitif.  Pengajaran langsung sangat mungkin untuk merangsang aktivitas kognitif dengan berpikir verbal dan visual, tidak perlu dengan aktivitas fisik. Dengan kata lain penjelasan langsung dapat merangsang pemikiran. siswa
Wragg dan Brown (1993) "giving understanding to another" bahwa penjelasan yang jelas kepada kelompok siswa  membantu  meminimalkan perbedaan dalam pengetahuan mereka tentang suatu topik tertentu, dengan demikian akan mengurangi  kesalahpahaman .
b. Apakah metode berdasarkan prinsip-prinsip konstruktivis cocok untuk semua bidang belajar?
Walter Dick (1992), beberapa konstruktivis berpendapat teori ini berlaku untuk semua domain belajar manusia. Walter Dickmemberikan  pertanyaan yang logis : Apa batas-batas teori? dan, Apakah benar sebuah teori, atau strategi pembelajaran yang merupakan jenis hasil belajar tertentu? Seorang siswa secara aktif membutuhkan untuk menemukan jalan kepada pengetahuan dasar dan belajar numerasi  yang memperhadapkan siswa dengan tugas-tugas yang sulit . Pembelajaran  langsung yang baik akan lebih memungkinkan siswa untuk mengembangkan basis pengetahuan yang lebih subtansial yang akan meningkatkan  proses berpikir siswa  dalam situasi berikutnya baik di dalam dan di luar sekolah.
Jonassen( 1992) menjelaskan tiga tahap model pembelajaran akuisisi pengetahuan:
Tahap 1 :  initial knowledge acquisition( akuisisi pengetahuan awal)
Tahap 2 : Advance knowledge (pengetahuan lanjut)
Tingkat 3 : Expertise ( ahli )
Ini mendukung pandangan bahwa pada tahap akuisisi pengetahuan awal,   lebih baik dilayani dengan pembelajaran  langsung sedangkan tahap  akuisisi pengetahuan lanjut sampai  ke tahap  keahlian dapat menggunakan  pendekatan yang lebih konstruktivis.
Contoh : Mengajarkan membaca dan menulis permulaan akan lebih efektif  jika dilakukan  dengan pengajaran langsung.
c. Apakah  pendekatan konstruktivis ideal bagi setiap pembelajar ?
Mc Cormick (1995) mengamati  beberapa siswa,  untuk mengalami penemuan(discovery) yang tidak terstruktur, dimana siswa kurang  independen, sangat tidak  efisien untuk mencapai pembelajaran yang diinginkan. Mereka membutuhkan waktu  lebih lama dari yang dibutuhkan untuk mengajarkan pengetahuan yang sama  dibandingkan menggunakan jika dengan penjelasan langsung.
Swanson(  2000)  Siswa,dengan kesulitan belajar,  siswa kurang termotivasi , dan siswa dari latar belakang yang kurang beruntung,  tampaknya akan lebih cepat bila diajarkan dengan metode eksplisit  dalam memperoleh keterampilan , dasar –dasar teori  , melibatkan banyak model dan praktek  yang dibimbing langsung oleh guru.
Delpit (1988) mengutip seorang mahasiswa yang mengatakan "Saya tidak merasa ia/guru sedang mengajar kita sesuatu .Dia mengoreksi  setiap tugas dan kita belajar darinya. dia tidak mengajari kami sesuatu” “Vaughn ( 1995) melaporkan hampir  semua siswa masih sangat membutuhkan pengarahan langsung dari guru, terutama ketika berhadapan dengan mata pelajaran yang sulit. Hal ini jelas bahwa dengan menggunakan pendekatan berbasis konstruktivis tidak menjamin bahwa semua siswa dalam kelas akan mengkonstruk  pengetahuan yang identik tentang topik tertentu. Seorang pembelajar dapat membuat kesalahpahaman konsep atau mempunyai konsepsi tidak akurat.


d.Apakah pendekatan konstruktivis kompatibel dengan pengolahan kognitif manusia?
     Tumbuhnya penelitian tentang "teori beban kognitif" ( Cognitive Load Theory) yang meragukan tentang keberhasilan dari penemuan-jenis kegiatan terstruktur dan terfokus. CLT  sangat berkaitan dengan tugas-tugas di mana peserta didik sering kewalahan oleh jumlah dan keragaman informasi yang harus diproses dan diingat secara bersamaan.  Maka dengan mudah bisa terjadi penemuan atau masalah – dalam situasi pembelajaran berbasis.
 (Paas et al., 2004), menyarankan bahwa kegiatan belajar dengan bimbingan minimal dari guru maka pembelajaran  menjadi  kurang efektif karena mereka memberikan tuntutan yang tidak masuk akal pada kemampuan peserta didik dalam pengolahan informasi, khususnya pada memori kerja.


     (Kirschner et al. 2006 ). Paas et al. (2004, p. 1) menjelaskan masalah ini:
.. . penurunan kinerja di kedua ekstrem beban kognitif  yang terlalu  rendah (underload) atau beban terlalu tinggi (overload),menjadikan  pelajar dapat berhenti belajar.
Dengan mengacu pada overload, Kirschner et al. (2006) mengamati bahwa, peserta didik dapat terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah untuk waktu yang lama dan akibatnya hampir tidak ada belajar '[penekanan ditambahkan]. Sementara semua kegiatan belajar dan tugas memang melibatkan beberapa derajat beban kognitif intrinsik, seorang ahli di bidang ini merekomendasikan bahwa materi pengajaran dan metode harus mencoba untuk meminimalkan beban ini dengan memecah tugas menjadi langkah-langkah yang dikelola dan memberikan dukungan yang memadai untuk belajar.
Kritik terhadap  CLT bahwa sementara teori overload kognitif, dapat mempertahankan  metode penemuan(discovery) yang benar-benar terarah dan eksploratif, tidak berlaku untuk pendekatan yang berbasis masalah yang digunakan saat ini, karena sebenarnya guru hanya memberikan yang diperlukan berupa  dukungan dan bimbingan (perancah) agar mereka terlibat dalam kegiatan belajar (Schmidt et al, 2007.).

5.    Prinsip-Prinsip Konstruktivistik yang Melandasi Project Based Learning( PBL )
Anik Gufron(2010) Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) adalah pembelajaran yang menggunakan proyek sebagai basis materi pembelajaran bagi siswa, sehingga dapat berpikir kritis, dan terampil memecahkan berbagai masalah/proyek untuk memperoleh konsep atau pengetahuan yang esensial. PBL menekankan pada kegiatan perumusan kegiatan, merancang, melaksanakan pekerjaan, dan mengevaluasi hasil kerja.
Prinsip-Prinsip Konstruktivistik yang melandasi PBL adalah sebagai berikut  :

a.        Letakkan /kaitkan kegiatan belajar ke dalam tugas –tugas atau masalah yang lebih besar.
PBL adalah cara yang konstruktif dalam pembelajaran menggunakan permasalahan sebagai stimulus dan berfokus kepada aktivitas pelajar. [Boud & Felleti, 1991]. PBL adalah metode pengajaran sistematik yang mengikutsertakan pelajar ke dalam pembelajaran pengetahuan dan keahlian yang kompleks, pertanyaan authentic dan perancangan produk dan tugas [University of Nottingham, 2003]. Si belajar benar-benar memahami dan menrima kegiatan belajar khusus dalam relasinya dengan tugas yang kompleks.

b.        Dukung si belajar dalam mengembangkan kepemilikan atas keseluruhan tugas atau masalah.
Pembelajaran Berbasis Proyek dibangun berdasarkan ide-ide pebelajar sebagai bentuk alternatif pemecahan masalah nyata tertentu, dan pebelajar mengalami proses belajar pemecahan masalah itu secara langsung. Si belajar dilibatkan dalam proyek tertentu maka diasumsikan si belajar akan memahami dan menyadari relevansi serta nilai dari masalah.
c.         Desainlah tugas yang otentik
Dalam PBL siwa dihadapkan pada masalah dan mencoba untuk menyelesaikan dengan bekal pengetahuan yang mereka miliki. Mengidentifikasi apa yang harus dipelajari untuk memahami lebih baik permasalahan dan bagaimana cara memecahkannya. Mencari informasi dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, laporan, informasi online atau bertanya pada pakar yang sesuai dengan bidangnya. Melalui cara ini, belajar dipersonalisasi sesuai dengan kebutuhan dan gaya hidup tiap individu.  Setelah mendapatkan informasi, mereka kembali pada masalah dan mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari untuk memahami dan menyelesaikannya. Di akhir proses, siswa melakukan penilaian terhadap dirinya dan memberi kritik bagi teman-temannya.

d.        Desainlah tugas-tugas dan lingkungan belajar untuk merefleksikan kompleksitas lingkungan.
Dalam PBL kita berupaya mendukung si belajar bekerja dalam lingkungan yang kompleks. Kegiatan pelajar difokuskan pada pekerjaan yang serupa dengan situasi yang sebenarnya. Aktivitas ini mengintegrasikan tugas otentik dan menghasilkan sikap profesional.
e.         Berikan si Belajar “kepemilikan “ atas proses yang digunakan  untuk membangun solusi. 
Dalam PBL, si belajar   diharapkan  akan  merasa “memiliki”  atas  proyek  tersebut.  Perencanaan  berisi  tentang  aturan  main, pemilihan  aktivitas  yang  dapat  mendukung  dalam  menjawab  pertanyaan esensial,  dengan  cara  mengintegrasikan  berbagai  subjek  yang  mungkin, serta  mengetahui  alat  dan  bahan  yang  dapat  diakses  untuk  membantu penyelesaian proyek (The George Lucas Educational Foundation : 2005).


f.         Desain lingkungan belajar  yang mendukung dan menantang berpikir si belajar.
Dalam PBL, Proses belajar dibentuk dari ketidakteraturan dan kompleksnya masalah, hal tersebut digunakan sebagai pendorong bagi siswa untuk belajar mengintegrasikan dan mengorganisasi informasi yang didapat sehingga nantinya dapat selalu diingat dan diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah yang akan dihadapi.

g.        Mendorong pengetesan ide-ide melawan pandangan- pandangan alternatif dan konteks-konteks alternatif.
Dalam PBL si belajar menggunakan sumber-sumber belajar dn materi pelajaran sebagai sumber informasi yang dipergunakan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Nara sumber dan fasilitator membantu si belajar  untuk melakukan inkuiri melalui proyek yang dikerjakannya. Pembelajaran Berbais Proyek yang diimplementasikan secara baik memberikan kepada siswa pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas.

h.               Sediakan kesempatan dan dukungan bagi terjadinya refleksi baik terhadap konten  yang dipelajari maupun terhadap proses belajar yang dijalani.
PBL meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Penelitian pada pengembangan keterampilan kognitif tingkat tinggi siswa menekankan perlunya bagi siswa untuk terlibat di dalam tugas-tugas pemecahan masalah dan perlunya untuk pembelajaran khusus pada bagaimana menemukan dan memecahkan masalah. Banyak sumber yang mendiskripsikan lingkungan belajar berbasis proyek membuat siswa menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang kompleks.

Daftar Pustaka :

1.       http://www.scribd.com/doc/45793167/Teori-Belajar-Konstruktivis,  diakses tanggal  9 Oktober 2011 ( Peter Westwood What Teachers Need to Know About Teaching Methods)

2.       Degeng , Nyoman S (2010) Paradigma Baru Pembelajaran Di Perguruan Tinggi: Dari Behavioristik ke Konstruktivistik, Bahan Seminar Pengembangan Model-Model Pembelajaran Inovatif, UKSW Salatiga.


3.       Gufron,Anik(2010) Model Pembelajaran Inovatif, Bahan Seminar Pengembagan Model-Model Pembelajaran Inovatif, UKSW, Salatiga

4.       Kamdi,Waras(2008) Pembelajaran Berbasis Proyek, Materi Pelatihan Guru SMP SMA Tarakan

5.       Savery and Duffy(996) Problem Based Learning: An Instructional Model And Its Constructivist Framework;Brent G. Wilson( ed) Constructivist Learning Environments.Case Studies in Instructional Design;New Jersey : Educational Technology Publications)

6.       Amri,Sofan & Akhmadi,Iif Khoiru ( 2010) Konstruksi Pengembangan Pembelajaran Pengaruhnya Terhadap Praktik Kurikulum, PT Pustaka Raya, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar